Antara Safe Sex & Moral Obligation

13 11 2008
zam-bjnItulah akibat kurang iman.
Mereka takut terhadap penyakit AIDS yang paling cuma 20 tahun
 penderitaannya.

Untuk menghindarinya mereka pakai kondom dan mengira "AMAN"

Padahal dengan berzina mereka tidak aman dari siksa api neraka yang
 jauh lebih pedih dan lebih lama.

Untuk itulah gunanya kita belajar agama Islam agar tidak tertipu
 seperti mereka.

Wassalam

Antara Safe Sex & Moral Obligation
�
Sabtu pekan lalu, saat membaca Koran pagi di rumah, mata saya tertumbuk
 pada sebuah iklan di pojok halaman yang mencolok mata. Iklan tersebut
 berjudul University Challenge �safe sex, saves lives�. Selanjutnya
 iklan tersebut mengumunkan sebuah kompetisi yang ditujukan kepada seluruh
 Universitas di Indonesia untuk membuat proposal kampanye edukasi tentang
 kesehatan seksual di lingkungan universitas masing-masing dalam rangka
 hari AIDS Sedunia 2008 dan Pekan Kondom Nasional 2008.
�
Saya sangat jengah membaca iklan tersebut, apakah seks bebas sudah
 sedemikian menggejala di kampus-kampus di Indonesia, sehingga perlu
 diadakan kompetisi kampanye kesehatan seksual di lingkungan kampus.��
�
Memang, apabila kita amati beberapa penelitian, terlihat bahwa
 kehidupan bebas di kalangan remaja merupakan hal yang tidak tabu lagi.
 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LSM Plan bekerjasama dengan PKBI
 (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) tentang perilaku seks remaja
 Bogor tahun 2000, menunjukkan dari 400-an responden, 98,6% remaja usia
 10-18 tahun sudah melakukan "pacaran"; 50,7% pernah melakukan cumbuan
 ringan, 25% pernah melakukan cumbuan berat, dan 6,5% pernah melakukan
 hubungan seks (78,6% diantaranya melakukan dengan pacar atau teman, dan
 sisanya dengan penjaja seks).
�
Demikian pula dari penelitian yang dilakukan Doktor Rita Damayanti dari
 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) pada
 tahun 2006. Beliau meneliti perilaku �pacaran� 8.941 pelajar dari 119
 SMA/sederajat di Jakarta. Hasil yang ditemukannya, tidak jauh berbeda, yakni
 6,5% pelajar SLTA telah melakukan hubungan seks dengan pacarnya
 (termasuk seks oral), dan sekitar 25% melakukan cumbuan dengan meraba dan
 menggesekan alat kelamin (petting).
�
Menurut pengamatan seorang teman saya, persoalan seks bebas ini
 bagaikan fenomena gunung es. Hanya puncaknya saja yang kelihatan, atau dengan
 perkataan lain hanya sedikit data yang terungkap. Menurut beliau, di
 balik itu, bisa jadi pelaku lebih banyak lagi. Data yang lebih dahsyat
 lagi, dari penelitian seorang pemerhati masalah sosial yang tidak
 dipublikasikan, menunjukkan bahwa saat ini telah beredar lebih dari 500 video
 porno buatan anak muda Indonesia. Hampir semua berawal dari dokumentasi
 iseng pasangan remaja untuk kenang-kenangan(?). Pelaku bervariasi
 dalam hal umur. Dari usia SMP hingga mahasiswa.
�
Pada tahun 2001, masyarakat dikejutkan oleh beredarnya film �Bandung
 Lautan Asmara� dan beberapa film porno buatan lokal. Sebagian pengamat
 memprediksi, bahwa akan ada peningkatan 10 kali lipat dalam 10 tahun ke
 depan. Ternyata ramalan itu salah, karena hanya dalam kurun waktu 5
 tahun, di tahun 2006, ditemukan bukti dan data film porno Indonesia yang
 dibuat secara amatir telah mencapai 500 buah! Lebih dari 50 kali lipat
 jumlah film porno pertama yang dibuat rentang 2001-2003. Sungguh sangat
 mengejutkan!

Jumlah tersebut di atas semakin bertambah karena ditemukannya bukti,
 bahwa setiap hari, minimal 2 film porno lokal baru di upload ke internet.
 Sebagian besar dibuat dengan menggunakan peralatan Handphone kamera
 dan berisi cuplikan hubungan seks dalam durasi yang singkat (kurang dari
 10 menit). Cuplikan video porno tersebut, dikonversi menjadi file-file
 berukuran kecil, tersebar di peralatan handphone dan pemutar film mini
 (MP4 Player) yang kini harganya semakin murah. Yang lebih mengenaskan,
 90% pelaku dan pembuat film terbesar video porno amatir itu adalah
 pelajar dan mahasiswa! Sebagian besar berisikan hubungan seksual sepasang
 kekasih yang dilakukan dengan �sukarela� dan �riang� gembira�. Hubungan
 seks telah dijadikan hal yang tidak serius, membuka rahasia ke ruang
 publik, atas nama cinta dan keisengan belaka. Korban terbesar adalah
 remaja putri, mereka banyak tidak sadar telah dijebak dan dieksploitasi.
 Direkam ketelanjangan tubuhnya atas
 nama cinta dan kasih sayang, ditipu habis-habisan dengan ancaman
 �putus� oleh kekasih bengalnya. Namun sayangnya, kata cinta kerap dijadikan
 senjata untuk membutakan logika.
�
Pada pertengahan tahun 2007 yang lalu saya menulis di sebuah media,
 bahwa dalam iklan-iklan di televisi telah terjadi perubahan fungsi kondom,
 dari alat kontrasepsi untuk sebuah program Keluarga Berencana, menjadi
 �sebuah alat penjaga kesehatan. Iklan-iklan yang ditayangkan tersebut
 tidak mempersoalkan apakah hubungan seks yang akan dilakukan dengan
 pasangan resminya atau bukan. Iklan-iklan tersebut lebih mementingkan
 kesehatan pelaku dalam mencegah HIV dan penyakit seksual lainnya, dan
 mengesankan memberi contoh kehidupan seks bebas bagi kaum muda dan remaja.
�
Akibat tulisan saya tersebut, saya �kebanjiran� pesan ataupun surat di
 mail box saya. Sebagian besar menyayangkan tulisan saya tersebut.
 Seharusnya, menurut mereka, saya harus bersyukur, bahwasanya saat ini sudah
 ada orang yang tidak lagi merasa munafik untuk memberikan petunjuk
 bagaimana cara hidup sehat melalui iklan-iklan kondom di TV tersebut.
 Bagaimanapun, masih menurut mereka, iklan-iklan kondom yang ditayangkan
 tentu tidak asal buat tanpa pemikiran panjang para kreatornya. Iklan-iklan
 tersebut justru berasal dari bagaimana masyarakat kita menjalani
 kehidupannya saat ini. Dan yang mencengangkan saya, sebagian besar yang
 �menghujat� saya sebagai seorang yang tidak mengerti keadaan dan seorang
 yang munafik adalah ibu-ibu. Saya hanya dapat mengurut dada, apakah sudah
 sedemikian permisifnya ibu-ibu di zaman ekonomi materialistis sekarang.
�
Merasakan fenomena seks bebas yang terjadi saat ini, dimana iklan dan
 kampanye kondom sangat luar biasa hingga perlu dilakukan kompetisi antar
 kampus guna edukasi tentang kesehatan seksual di lingkungan
 universitas, membuat saya berpikir apakah memang pencegahan dari sisi moral
 keagamaan tidak lagi mempan. Agama yang saya maksud di sini bukan hanya
 �Islam�, karena sepengetahuan saya tidak ada satu agama resmi pun di
 Indonesia yang dalam kitab suci-nya membenarkan perzinahan. Atau mungkin
 definisi �zinah� saat ini sudah berubah, yakni hubungan seks yang dilakukan
 berdasarkan suka sama suka di antara pelakunya� bukan lagi merupakan
 �perzinahan�???
�
Wallahu alam bishowab��.
�
Penulis: MULTAZAM (BOJONEGORO - JAWATIMUR)

Aksi

Information

Tinggalkan komentar